Percakapan Rahasia (1)
Setiap pagi Indonesia berhadapan dengan sejuta masalah yang amat serius. Berita di televisi benar-benar nyata, bukan
lagi karangan dari pemimpin negara. Ibu pertiwi kini tengah
menangis menyaksikan tanahnya terluka disana sini.
Bagi saya indonesia merupakan negara yang kaya dengan
sumber daya yang dibutuhkan seluruh dunnia. Sumber daya alam, pangan, kearifan lokal, budaya, pariwisata, hingga
sumbe daya manusia. Tapi itu dulu, sepertinya sekarang sudah tak ada lagi setelah satelit berfungsi dengan maksimal.
Teknologi hari ini semakin canggih, semuanya bisa diciptakan dengan teknologi hingga dunia benar-benar telah dalam
genggaman setiap orang. Kehadiran teknologi yang semakin canggih kini dapat dijangkau dengan uang recehan, lain
halnya ketika awal kemunculannya, teknologi yang seadanya harganya bisa menguras seluruh tabungan.
Hari ini segala sesuatu yang berfungsi sebagai alat bantu
manusia akan berubah namanya, embel-embel 'E' akan mendahului di depannya. Sebut saja email, ebook, ecomerce, ebanking, emoney, eticket, emall, epaper, dan lainnya adalah
evolusi dari manual menjadi serba digital dan canggih.
Tujuannya adalah tak lain untuk membantu pekerjaan manusia dalam efesiensi waktu. Tentu saja berkat kecanggihan teknologi, mungkin patut kita ucapkan banyak terimakasih untuk sang penemu listrik, komputer, Internet dan browser.
Namun di balik kecanggihan teknologi itu semua belum berarti kita terbebas dari masalah kehidupan sehari-hari yang terkesan serba rumit. Masih ada yang harus dipikirkan.
Menghitung berapa jumlah sesuatu yang manual kini dibuat
otomatis dan digital, dari mulai surat, buku, tiket, tabungan, toko, berkas formulir, foto, koran, majalah, mesin industri,
pertanian, dan masih banyak lagi, hanya membutukan tenaga manual yang sedikit. Sebut saja beberapa orang teknisi mesin untuk mengontrol penggunaan eTol dari jauh. Bahkan untuk menjalankan satu halaman penuh website hanya diperlukan satu orang saja. Hal tersebut membuat para karyawan lainnya akan kehilangan pekerjaan mereka. Industri percetakan akan
dibuat bangkrut dalam waktu singkat.
Hampir 100% perangkat kantor, sekolah dan rumah tangga
kini telah serba digital dan canggih. Perubahan yang luar biasa, mengingat Einstein sang ilmuan tua harus mati tanpa tahu bagaimana cara menggunakan email. Awal perubahan digitalisasi biasanya memang terjadi penolakan, namun seiring modernisasi dan tingkahlaku budaya konsumtif akhirnya mau tak mau konversi harus terjadi.
Sebelum bahan bakar gas, minyak tanah adalah bahan bakar utama yang lebih banyak digunakan rumat tangga untuk kebutuhan memasak setiap harinya, sehingga sempat terjadi aksi penolakan oleh warga terhadap pemerintah yang akan mengkonversi minyak tanah ke bahan bakar gas lpj sekitar tahun 2007 lalu. Namun seiring dengan harga minyak yang dinaikan dan dibuat langka, akhirnya masyarakat pun harus patuh dengan aturan yang ada.
Kini Indonesia akan segera membuka pasar global, dimana para improtir asing akan segera mengimpor produknya ke
indonesia. Seiring dengan itu, perusahaannya pun akan berdiri di bumi pertiwi, ekspatriat tenaga kerja asing akan memasuki gedung-gedung kantor yang ada di indonesia. Perusahaan-perusahaan akan menaikan standarisasi karyawan, dan mungkin mengurangi jumlah karyawan/tenaga kerja karena sebagian besar dari perkejaan perusahaannya telah berjalan otomatis. Persaingan industri akan semakin ketat, begitu pula dengan tenaga kerja yang enggan menganggur. Pun umkm akan terancam keberadaannya jika pemerintah senantiasa acuh.
Melihat pemerintah Indonesia yang sebagian besar masih disibukan dengan perebutan tahta tertinggi negara, saya melihat ada keterpurukan dalam waktu beberapa tahun kedepan. Bayakngkan saja, dari mulai pendidikan siswa yang kurang diperhatikan, sekolah-sekolah seperti dibiarkan seadanya, hanya sekolah elite yang dibesar-besarkan.
Beranjak menjadi mahasiswa, pemerintah seolah sedang mencari mangsa untuk permainan politiknya. Maka, bukanlah hal yang aneh jika lebih banyak yang memilih kuliah di negara tetangga.
Tingkah laku konsumtif dibiarkan begitu saja, seiring dengan dibuka pintu globalisasi. Hal yang biasa melihat masyarakat Indonesia lebih bangga konsumtif dengan produk serba instan hasil import, ketimbang makan lotek atau rujak. Lebih banyak yang bangga dengan smartphone terbaru dengan kemudahan akses jaringan sosial daripada artikel, esai atau cerpennya dimuat pada salahsatu media massa. Lebih bahagia liburan di paris, lebih 'pede' menggunakan gaya bahasa british, memilih berdesak-desakan menonton konser Lady Gaga, dan menonton drama korea ketimbang FTV. Hingga pada akhirnya tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negara Indonesia, dan tidak ada yang bangga dengan negaraku Indonesia.
..
lagi karangan dari pemimpin negara. Ibu pertiwi kini tengah
menangis menyaksikan tanahnya terluka disana sini.
Bagi saya indonesia merupakan negara yang kaya dengan
sumber daya yang dibutuhkan seluruh dunnia. Sumber daya alam, pangan, kearifan lokal, budaya, pariwisata, hingga
sumbe daya manusia. Tapi itu dulu, sepertinya sekarang sudah tak ada lagi setelah satelit berfungsi dengan maksimal.
Teknologi hari ini semakin canggih, semuanya bisa diciptakan dengan teknologi hingga dunia benar-benar telah dalam
genggaman setiap orang. Kehadiran teknologi yang semakin canggih kini dapat dijangkau dengan uang recehan, lain
halnya ketika awal kemunculannya, teknologi yang seadanya harganya bisa menguras seluruh tabungan.
Hari ini segala sesuatu yang berfungsi sebagai alat bantu
manusia akan berubah namanya, embel-embel 'E' akan mendahului di depannya. Sebut saja email, ebook, ecomerce, ebanking, emoney, eticket, emall, epaper, dan lainnya adalah
evolusi dari manual menjadi serba digital dan canggih.
Tujuannya adalah tak lain untuk membantu pekerjaan manusia dalam efesiensi waktu. Tentu saja berkat kecanggihan teknologi, mungkin patut kita ucapkan banyak terimakasih untuk sang penemu listrik, komputer, Internet dan browser.
Namun di balik kecanggihan teknologi itu semua belum berarti kita terbebas dari masalah kehidupan sehari-hari yang terkesan serba rumit. Masih ada yang harus dipikirkan.
Menghitung berapa jumlah sesuatu yang manual kini dibuat
otomatis dan digital, dari mulai surat, buku, tiket, tabungan, toko, berkas formulir, foto, koran, majalah, mesin industri,
pertanian, dan masih banyak lagi, hanya membutukan tenaga manual yang sedikit. Sebut saja beberapa orang teknisi mesin untuk mengontrol penggunaan eTol dari jauh. Bahkan untuk menjalankan satu halaman penuh website hanya diperlukan satu orang saja. Hal tersebut membuat para karyawan lainnya akan kehilangan pekerjaan mereka. Industri percetakan akan
dibuat bangkrut dalam waktu singkat.
Hampir 100% perangkat kantor, sekolah dan rumah tangga
kini telah serba digital dan canggih. Perubahan yang luar biasa, mengingat Einstein sang ilmuan tua harus mati tanpa tahu bagaimana cara menggunakan email. Awal perubahan digitalisasi biasanya memang terjadi penolakan, namun seiring modernisasi dan tingkahlaku budaya konsumtif akhirnya mau tak mau konversi harus terjadi.
Sebelum bahan bakar gas, minyak tanah adalah bahan bakar utama yang lebih banyak digunakan rumat tangga untuk kebutuhan memasak setiap harinya, sehingga sempat terjadi aksi penolakan oleh warga terhadap pemerintah yang akan mengkonversi minyak tanah ke bahan bakar gas lpj sekitar tahun 2007 lalu. Namun seiring dengan harga minyak yang dinaikan dan dibuat langka, akhirnya masyarakat pun harus patuh dengan aturan yang ada.
Kini Indonesia akan segera membuka pasar global, dimana para improtir asing akan segera mengimpor produknya ke
indonesia. Seiring dengan itu, perusahaannya pun akan berdiri di bumi pertiwi, ekspatriat tenaga kerja asing akan memasuki gedung-gedung kantor yang ada di indonesia. Perusahaan-perusahaan akan menaikan standarisasi karyawan, dan mungkin mengurangi jumlah karyawan/tenaga kerja karena sebagian besar dari perkejaan perusahaannya telah berjalan otomatis. Persaingan industri akan semakin ketat, begitu pula dengan tenaga kerja yang enggan menganggur. Pun umkm akan terancam keberadaannya jika pemerintah senantiasa acuh.
Melihat pemerintah Indonesia yang sebagian besar masih disibukan dengan perebutan tahta tertinggi negara, saya melihat ada keterpurukan dalam waktu beberapa tahun kedepan. Bayakngkan saja, dari mulai pendidikan siswa yang kurang diperhatikan, sekolah-sekolah seperti dibiarkan seadanya, hanya sekolah elite yang dibesar-besarkan.
Beranjak menjadi mahasiswa, pemerintah seolah sedang mencari mangsa untuk permainan politiknya. Maka, bukanlah hal yang aneh jika lebih banyak yang memilih kuliah di negara tetangga.
Tingkah laku konsumtif dibiarkan begitu saja, seiring dengan dibuka pintu globalisasi. Hal yang biasa melihat masyarakat Indonesia lebih bangga konsumtif dengan produk serba instan hasil import, ketimbang makan lotek atau rujak. Lebih banyak yang bangga dengan smartphone terbaru dengan kemudahan akses jaringan sosial daripada artikel, esai atau cerpennya dimuat pada salahsatu media massa. Lebih bahagia liburan di paris, lebih 'pede' menggunakan gaya bahasa british, memilih berdesak-desakan menonton konser Lady Gaga, dan menonton drama korea ketimbang FTV. Hingga pada akhirnya tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negara Indonesia, dan tidak ada yang bangga dengan negaraku Indonesia.
..
